"Semakin besar ukurannya, frekuensi jatuhnya semakin sedikit. Untuk meteor ukuran seperti yang jatuh di Duren Sawit, jumlah yang masuk ke bumi berdasarkan statistik bisa mencapai 500 per tahun," kata peneliti astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, saat jumpa pers di Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, Jumat (14/5/2010).
Dikatakan Thomas, rata-rata benda angkasa yang jatuh ke bumi dalam keadaan dingin. Hanya saja, beberapa kasus seperti meteor yang jatuh di Duren Sawit (29/4/2010) dan di Bima (3/5/2010) menjadi menarik karena memancarkan panas dan menimbulkan ledakan. "Manfaat penelitian, kita bisa memahami bagaimana benda langit itu berdampak di bumi. Katanya menyebabkan kawah, itu sudah banyak literatur. Tapi kalau yang menyebabkan paparan panas kaya di Bima, saya belum menemukan di literatur," tambah Thomas.
Meskipun banyak debu dan batuan luar angkasa yang jatuh tiap tahunnya, Thomas menegaskan bahwa kemungkinan benda-benda tersebut jatuh di permukiman penduduk sangat kecil. "Probabilitasnya sangat kecil dilihat dari besar bendanya dibandingkan luas bumi. Dan sebagian besar wilayah bumi tidak berpenghuni," kata Thomas.
Warga menyaksikan isi rumah yang porak poranda akibat ledakan dari sumber yang belum jelas asalnya di Jalan Delima VI Gang Dua No 31, Kelurahan Malakasari, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (3/4/2010). Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri mengamankan debu-debu berbentuk pasir dan memastikan sumber ledakan bukan dari bahan peledak.
Akhir-akhir ini memang diberitakan banyak meteor yang sampai ke bumi, seperti di Aceh, Duren Sawit, Malang, dan di Bima NTB. Namun, kata Thomas, banyaknya meteorit yang terlihat manusia tersebut tidak menandakan gejala fenomena alam tertentu. "Kebetulan jumlah penduduk lebih banyak, jadi probabilitas yang melihat banyak. Peran media massa juga semakin cepat, jadi memberi kesan banyak yang jatuh," imbuh Thomas.
0 comments:
Post a Comment